Minggu, 31 Oktober 2010

Tulisan Etika Bisnis 2

Bisnis Harus Beretika dan Bertanggungjawab

Yogyakarta, CyberNews. Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia (PSL UII) menghimbau para pengusaha untuk lebih memperhatikan pengelolaan lingkungan. Bisnis yang beretika dan bertanggungjawab akan menyelamatkan masa depan bangsa.

"Di samping berorientasi pada profit sektor usaha memiliki tanggung jawab social untuk menekan dampak lingkungan bagi sekitarnya. Sering dijumpai di lapangan bahwa sektor usaha kurang atau tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan sebagai akibat dari kegiatan usaha yang mereka lalukan," ungkap Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia (PSL UII) dalam siaran persnya kepada redaksi SM CyberNews.

Menurut PSL UII keuntungan finansial hanya dinikmati oleh pelaku bisnis, sementara kerusakan lingkungan dibebankan pada pihak lain yang sangat mungkin tidak ikut menikmati keuntungan tersebut. "Padahal ini semua bisa di-manage agar sektor usaha tetap untung dengan tanpa merusak lingkungan," kata Kepala PSL UII Dr Ing. Ir. Widodo Brontowiyono M.Sc .

Untuk itu, dalam rangka memberikan rekomendasi dan pembinaan terhadap dunia usaha untuk pengelolaan lingkungan, Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia (PSL UII) akan berpartisipasi dan berkontribusi dalam aspek penelitian dan pemberdayaan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah kerja sama dengan Lembaga Oombudsman Swasta (LOS) DIY.

"Kerja sama dengan LOS DIY dilakukan agar hasil-hasil penelitian dan pemberdayaan bagi pengelolaan lingkungan dunia usaha dapat ditindaklanjuti secara berkelanjutan hingga menjadi kebijakan," ujar Widodo Brontowiyono.

Menurut dosen Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UII ini penjajakan kerja sama dua pihak ini diawali dengan koordinasi dan diskusi terbatas pada hari Kamis, 15 Januari 2009. Koordinasi berlangsung sekitar 2 jam mulai pukul 10.00 hingga 12.00 WIB, diikuti dari pihak LOS DIY Ananta Heri Purnama (Ketua), Pilkeska Hinarurpika (Wakil Ketua), Drs Farid Bambang Siswantoro (Kepala Bidang Kerjasama), dan Supriyono (Kepala Bidang Litbang) serta dari pihak PSL UII adalah Dr. Widodo Brontowiyono (Kepala), Feris Firdaus, M.Sc (Sekretaris), dan Ribut Lupiyanto, S.Si (Ketua Divisi Riset).

Beberapa isu strategis yang teridentifikasi diantaranya perkembangan pasar modern, usaha properti, dan lainnya. Pembahasan dan tindak lanjut kerjasama untuk tiap isu akan dibahas pada koordinasi-koordinasi berikutnya. Banyak issue yang dibahas dalam diskusi tersebut, mulai dari perubahan lahan, krisis kualitas air, limbah industri, pupuk, kesehatan makanan, dan eko-efisiensi.

Ketua LOS DIY mengungkapkan bahwa selama ini LOS DIY dalam menangani kasus maupun berinisiasi memberikan rekomendasi terkendala pada data atau argumentasi ilmiah khususnya tentang lingkungan. "Harapannya PSL UII dapat menjadi mitra LOS DIY dalam melakukan penelitian bidang lingkungan untuk menata pengelolaan dunia usaha agar lebih beretika dan bertanggungjawab," tambahnya.

Sumber :http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=21291

Tugas Etika Bisnis 1

Kasus : Bisnis yang melanggar etika

“Maraknya Peredaran Makanan Dengan

Zat Pewarna Berbahaya”


DEPOK - Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Kota Depok menyebutkan, sebanyak tujuh pasar tradisional di Depok terbukti menjual bahan pangan yang mengandung zat berbahaya.Sebelum diuji, Dinkes mengambil sample di puluhan pedagang di pasar tradisional dengan menggunakan enam parameter bahan tambahan yaitu, boraks, formalin, rodhamin, methanil yellow (pewarna tekstil), siklamat (pemanis buatan), serta bakteri makanan. Kepala Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Depok, Yulia Oktavia mengatakan, enam parameter tambahan pangan berbahaya tersebut dilarang digunakan untuk campuran makanan lantaran akan menyebabkan penyakit kanker dalam jangka panjang serta keracunan dalam jangka pendek. "Harus nol sama sekali seluruhnya, karena sangat berbahaya bagi kesehatan." Ujar Yulia kepada okezone, Sabtu (3/10/2009). Yulia menambahkan, makanan yang dijual para pedagang di pasar dan terbukti menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya di antaranya, mie basah, bakso, otak-otak, kwetiau, tahu kuning, pacar cina, dan kerupuk merah. "Yang paling parah ada kerupuk merah atau kerupuk padang yang biasa digunakan di ketupat sayur, itu ada di lima pasar, dan terbukti menggunakan rodhamin atau pewarna tekstil," paparnya. Langkah selanjutnya, kata Yulia, pihaknya akan mengumpulkan seluruh pedagang untuk dibina mengenai keamanan pangan dan makanan jajanan sehat. Setelah itu, baru diterapkan sanksi hukum pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Keamanan Pangan. Sanksinya bisa berupa kurungan penjara. Tujuh pasar yang terbukti menjual pangan mengandung bahan tambahan pangan berbahaya diantaranya, Pasar Musi, Dewi Sartika, Mini, Sukatani, Cisalak, Kemiri Muka, dan Depok Jaya. Sebagian di antaranya, berasal dari produsen di daerah Depok maupun Bogor. Keberadaan peraturan daerah (perda) tentang makanan dan minuman yang diperbolehkan dijual di kantin sekolah tidak menjamin hilangnya praktik-praktik ilegal penambahan zat campuran pada makanan anak-anak itu.Karena itu yang harus dikedepankan adalah penegakan payung hukum yang sudah ada. "Regulasi itu sudah ada, baik dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan menteri. Yang perlu adalah penegakan hukumnya," ujar Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail di Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6/2009). Lontaran Nurmahmudi merupakan respons atas wacana perlunya dibuat perda khusus tentang jajanan di sekolah lantaran maraknya praktik penambahan bahan tambahan makanan yang berbahaya dalam jajanan sekolah. Nurmahmudi menjelaskan, Menteri Kesehatan pada tahun 1987 telah mengeluarkan peraturan tentang bahan-bahan yang boleh digunakan sebagai bahan makanan tambahan. Karena itu, pemerintah tinggal melakukan pembinaan kepada produsen maupun konsumen. Yang menjadi tantangan, tambah Nurmahmudi, adalah melakukan pengawasan terhadap para produsen. Jika industri makanan tersebut legal, dalam artian alamat pabriknya jelas dan memiliki izin usaha, maka pemerintah bisa dengan mudah melakukan pembinaan. "Yang jadi masalah kalau produk itu tidak berlabel, tidak beralamat, maka perlu kerja keras dari berbagai pihak," katanya. Ke depannya, Nurmahmudi berjanji pemeriksaan jajanan di Depok tidak hanya terbatas pada jajanan anak SD saja. Tapi juga akan merambah kantin-kantin di perkantoran. "Untuk sementara kita pilih anak SD karena ini bagian dari upaya menyelamatkan generasi ke depan," jelasnya. Dinas Kesehatan Depok beberapa hari lalu melakukan pengambilan sampel jajanan ke 30 kantin SD di Kota Depok. Hasilnya 30 persen sampel positif mengandung boraks, 16 persen mengandung formalin, tiga persen mengandung siklamat, metanil yellow, dan rodamin. Untuk bahan boraks umumnya ditemukan pada produk krupuk putih, bakso, dan nuggets. Sementara zat formalin ditemukan pada nugget dan mie. Zat siklamat yang jumlahnya melebihi takaran ada pada produk es sirup dan es mambo. Untuk zat metanil yellow (pewarna kuning) dan rodamin (pewarna merah) atau yang lebih dikenal sebagai pewarna tekstil ditemukan pada permen karet.

Sumber : http://pipitindriani.blogspot.com/2009/11/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html

Tulisan Etika Bisnis 1

Beras Mengandung Pemutih Kain,
Pemerintah Pusat Diminta Turun

Pedagang membantah menjual beras berklorin.
TANGERANG – Dinas Pertanian Tangerang meminta pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Pertanian serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan Pusat, turun tangan untuk menuntaskan beredarnya beras yang mengandung zat pemutih kain (klorin) di sejumlah pasar tradisional di Tangerang.
Kepala Subdinas Pertanian, Dinas Pertanian Kota Tangerang, Epen Effendi, mengemukakan pemerintah daerah tidak punya kewenangan menindak pelaku dan menarik beras tersebut dari peredaran. “Karena ini menyangkut perdagangan antardaerah,” katanya kepada Tempo kemarin.
Beredarnya beras berklorin tersebut, kata Epen, dilakukan oleh para pedagang dan distributor beras nakal di luar Tangerang. Menurut dia, beras bercampur zat berbahaya itu kini telah marak dijualbelikan di pasar-pasar dalam bentuk beras curah. “Ini sangat berbahaya, termasuk penipuan dan pemalsuan,” ujarnya. Ia menambahkan, “Klorin dalam beras tidak bisa ditoleransi sedikit apa pun takarannya.”
Selama ini, Epen melanjutkan, hamper 95 persen kebutuhan beras di Kota Tangerang henya ada 100 hektare sawah yang dapat menghasilkan 1.000 ton beras setiap tahun. Hasil panen tersebut hanya mampu memenuhi 5 persen kebutuhan 1,4 juta jiwa warga Kota Tangerang.
Seperti diberitakan Koran ini sebelumnya, Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Tangerang menemukan 0,05 part per million atau satu per sejuta klorin dalam beras curah yang diperdagangkan di pasar tradisional di Tangerang. Sampel beras diambil dari Pasar Anyer, Pasar Malabar, dan Pasar Ciledug. Jika beras yang mengandung klorin dikonsumsi dalam waktu lama, bisa mengakibatkan munculnya penyakit kanker hati dan ginjal pada manusia.
Sejumlah pedagang beras di Pasar Anyer, Tangerang, ketika ditemui Tempo mengaku mengetahui ada beras yang bercampur klorin. Tapi mereka membantah memperjualbelikan beras bercampur klorin itu. Suhemi, salah seorang pedagang beras, mengatakan sejak adanya isu beras berklorin, banyak pembeli yang menanyakan soal beras itu. Tapi, kata dia, penjualan beras belum terpengaruh.
Menurut dia, secara kasatmata, beras yang bercampur klorin dapat dibedakan. Beras yang dicampur zat pemutih terlihat dari fisiknya, yaitu berbau obat atau detergen, licin, dan banyak serbuk putihnya. “Beras yang asli kesat dan putih kusam serta tidak berbau,” katanya.

Sumber : Koran Tempo, 9 Januari hal A14

;;

Template by:
Free Blog Templates